PUASA SUNAH
1. Puasa
Senin Kamis
2. Puasa
Daud (yaitu sehari berpuasa dan sehari tidak)
3. Puasa
Tiga Hari di Bulan Hijriyah (Ayyamul Bidh) hari yang
utama untuk berpuasa
adalah
pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah
4. Puasa
‘Asyura (9-10 Muharram)
5. Puasa di
Bulan Sya’ban
6. Puasa
Enam Hari di Bulan Syawal dalam pelaksanaannya harus lebih didahulukan
puasa
wajib, misalnya puasa qada baru setelahnya boleh melakukan puasa syawal.
7. Puasa di
Awal Dzulhijah (yaitu 1-9 hari pertama bulan Dzul Hijjah)
8. Puasa
‘Arofah (9 Dzulhijjah) ”Puasa ‘Arofah akan menghapus dosa setahun
yang lalu
dan setahun yang akan
datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa
’Asyura. Beliau menjawab,
”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu”
Macam-macam Puasa Sunnah
Macam-macam puasa Sunnah yang telah dituntunkan
dalam hadits-hadits Rasulullah SAW adalah sebagai berikut:
1. Puasa
Senin Kamis
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berbagai
amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika
amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 747.
Shahih dilihat dari jalur lainnya).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau
mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan
berpuasa pada hari senin dan kamis.” (HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah
no. 1739. Shahih)
2. Puasa
Daud
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Puasa yang paling disukai oleh Allah adalah puasa Nabi Daud.
Shalat yang paling disukai Allah adalah Shalat Nabi Daud. Beliau biasa tidur
separuh malam, dan bangun pada sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya.
Beliau biasa berbuka sehari dan berpuasa sehari.” (HR. Bukhari no. 3420
dan Muslim no. 1159)
Puasa Daud dikerjakan dengan cara selang-seling
yaitu sehari berpuasa dan sehari tidak. Dalam pelaksanaan boleh dipotong (tidak
terus menerus), misalnya dipotong 1 bulan.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah
mengatakan, “Puasa Daud sebaiknya hanya dilakukan oleh orang yang mampu
dan tidak merasa sulit ketika melakukannya. Jangan sampai ia melakukan puasa
ini sampai membuatnya meninggalkan amalan yang disyari’atkan lainnya. Begitu
pula jangan sampai puasa ini membuatnya terhalangi untuk belajar ilmu agama.
Karena ingat, di samping puasa ini masih ada ibadah lainnya yang mesti
dilakukan. Jika banyak melakukan puasa malah membuat jadi lemas, maka sudah
sepantasnya tidak memperbanyak puasa. … Wallahul Muwaffiq.”
3. Puasa
Tiga Hari di Bulan Hijriyah (Ayyamul Bidh)
Dianjurkan berpuasa tiga hari setiap bulannya,
pada hari apa saja. Mu’adzah bertanya pada ‘Aisyah, “Apakah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah
menjawab, “Iya.” Mu’adzah lalu bertanya, “Pada hari apa beliau
melakukan puasa tersebut?” ‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak peduli pada
hari apa beliau puasa (artinya semau beliau).” (HR. Tirmidzi no. 763 dan
Ibnu Majah no. 1709. Shahih)
Namun, hari yang utama untuk berpuasa adalah pada
hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah yang dikenal dengan ayyamul bidh.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada ayyamul bidh ketika tidak
bepergian maupun ketika bersafar.” (HR. An Nasai no. 2345. Hasan).
Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda padanya, “Jika engkau ingin berpuasa tiga hari
setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan
Hijriyah).” (HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424. Hasan)
4. Puasa
‘Asyura
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa
pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat
wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163). An Nawawi -rahimahullah-
menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk
berpuasa adalah pada bulan Muharram.”
Keutamaan puasa ‘Asyura adalah sebagaimana yang
telah disebutkan dalam hadits Abu Qotadah di atas. Puasa ‘Asyura dilaksanakan
pada tanggal 10 Muharram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
berucap dan bertekad di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa ‘Asyura
tidak bersendirian, namun juga diikutsertakan dengan puasa pada hari sebelumnya
yaitu 9 Muharram yang disebut puasa Tasu’a. Tujuannya pengikut sertaan tanggal
9 Muharram adalah untuk menyelisihi puasa ‘Asyura yang dilakukan oleh Ahlul
Kitab (Yahudi).
Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata
bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari
’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada
yang berkata, “Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh
Yahudi dan Nasrani.” Lantas beliau mengatakan, “Apabila tiba tahun depan
–insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari
kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan, “Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam sudah lebih dulu meninggal dunia.” (HR. Muslim no.
1134).
5. Puasa di
Bulan Sya’ban
Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih
banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa
pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no.
1156). Yang dimaksud di sini adalah berpuasa pada mayoritas harinya (bukan
seluruh harinya) sebagaimana diterangkan oleh Az Zain ibnul Munir. Para
ulama berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak
disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib. Puasa Sya’ban bertujuan untuk
mempersiapkan diri sebelum memasuki bulan Ramadhan namun tidak hanya dengan
puasa saja tapi juga disertai dengan amalan-amalan ibadah yang lainnya.
6. Puasa
Enam Hari di Bulan Syawal
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari
di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no.
1164) Namun dalam pelaksanaannya harus lebih didahulukan puasa wajib, misalnya
puasa qada baru setelahnya boleh melakukan puasa syawal.
7. Puasa di
Awal Dzulhijah
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada satu amal sholeh yang lebih
dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini
(yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula
jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula
jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan
hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud no. 2438, At
Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968. Shahih). Keutamaan
sepuluh hari di awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas
pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa shalat, sedekah, membaca Al
Qur’an, dan amalan sholih lainnya. Di antara amalan yang dianjurkan di awal
Dzulhijah adalah amalan puasa.
Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa
istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada
hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya, …” (HR. Abu
Daud no. 2437. Shahih).
8. Puasa
‘Arofah
Puasa ‘Arofah ini dilaksanakan pada tanggal 9
Dzulhijjah. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata, “Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam ditanya mengenai keutamaan puasa ‘Arofah. Beliau menjawab, ”Puasa
‘Arofah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.”
Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura. Beliau menjawab,
”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu” (HR. Muslim no.
1162). Dosa-dosa yang dimaksud adalah dosa-dosa yang bisa dihapus (kecil) dan
bukan dosa-dosa besar seperti membunuh dan musyrik yang hanya bisa dihapus
dengan taubat nasuha.
Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak
dianjurkan melaksanakan puasa ‘Arofah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika
itu beliau disuguhkan minuman susu, beliau pun meminumnya.” (HR. Tirmidzi
no. 750. Hasan shahih).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar